"Barangsiapa yang hari ini lebih baik
dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin,
berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin adalah orang
celaka" (Hadits).
"DUNIA makin menua, namun tetap cantik dan kian mempesona untuk dipandang dan dinikmati..." Kalimat itu, menurut sebuah riwayat, diucapkan Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra Mi'raj. Hal itu dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, setelah beliau "diganggu" oleh seorang wanita tua namun tetap menampakkan kejelitaannya. Wanita tua yang menunggang kuda dan berteriak, "Ya Muhammad... Ya Muhammad!"
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
"DUNIA makin menua, namun tetap cantik dan kian mempesona untuk dipandang dan dinikmati..." Kalimat itu, menurut sebuah riwayat, diucapkan Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra Mi'raj. Hal itu dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, setelah beliau "diganggu" oleh seorang wanita tua namun tetap menampakkan kejelitaannya. Wanita tua yang menunggang kuda dan berteriak, "Ya Muhammad... Ya Muhammad!"
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
sumber : republika online
0 comments:
Post a Comment